Selasa, 12 Juni 2012

Download Dan Baca Cerpen Pendidikan




1.Bung Karno

Ami bertemu dengan Bung Karno.
“Pak!”
“Ya? Ada apa Ami?”
“Kenapa Bapak tidak pernah kembali?”
“Kenapa harus kembali? Sejarah untuk dipelajari bukan untuk diulangi.”
“Tapi kami perlu Bapak.”
“Memang. Sesuatu yang sudah tidak ada menjadi berguna, kalau tetap ada mungkin sia-sia.”
“Tidak. Kalau Bapak ada, tidak akan begini jadinya.”
“Itu rasa hormatmu pada yang sudah terjadi, yang harusnya membuat kamu bangkit bukannya menyerah.”
“Kami sudah mencoba, Pak, tapi ternyata tidak ada di antara kami yang kalibernya cukup besar seperti Bapak.”
Bung Karno tersenyum.
“Kamu kurang sabar saja.”
“Tidak! Kami sudah terlalu sabar. Kami sudah menunggu. Kami memberikan kesempatan, kepercayaan bahkan juga dukungan. Tetapi harapan kami selalu lebih besar dari apa yang terjadi.”
“Itu namanya kurang sabar.”
“Kami tidak bisa disuruh menunggu 350 tahun lagi. Kita sudah merdeka mestinya kita dapat menikmati kemerdekaan, bukan menjadi lebih perih. Kita tidak bisa lagi hanya menunggu dan pasrah, Pak. Kalau terlambat kita tidak akan dapat apa-apa!”
“Lho kamu mau apa? Kemerdekaan kan sudah ada di tanganmu.”
“Memang tetapi bukan hanya kemerdeaan politik. Kami juga ingin merdeka dari beban ekonomi. Kami tidak hanya ingin demokrasi politik, seperti pidato Bapak, kami juga perlu demokrasi ekonomi.”
“Kan sudah banyak sekali ahlinya.”
“Memang. Tapi masing-masing ahli punya pendapat berbeda. Yang kami dapat hanya pertentangan.”
“Itu namanya demokrasi.”
“Tidak Pak, bukan itu. Kami ingin makmur, sejahtera, aman supaya kami tenang. Seperti kata dalang dalam wayang, kami ingin Indonesia yang gemah-ripah kerta raharja loh jinawi.”
Bung Karno tertawa.
“O kamu juga suka wayang? Tokoh favoritmu siapa? Karna?”
“Tidak, Pak. Bapak saya yang suka wayang. Saya lebih suka dongeng-dongeng baru seperti Harry Porter atau kisah-kisah seperti Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi.”
Bung Karno tertegun.
“Apa itu? Aku belum pernah dengar.”
“Lho Bapak katanya kutu buku. Masak Bapak tidak pernah baca?”
“Belum.”
“Baca dong Pak. Nanti Bapak tahu apa yang terjadi sekarang ini. Beda sekali dengan dulu, Pak. Apa yang dulu tidak mungkin sekarang terjadi. Ini dunia yang lain sekali dengan apa yang Bapak alami dulu. Sekarang maling ayam bisa dipenjara seumur hidup, tapi rampok trilyunan dan membuat sengsara rakyat malah bisa berfoya-foya di luar negeri. Air putih pernah lebih mahal dari bensin Pak. Tapi bensin juga sekarang sudah mahal sekali. Di sini sekarang ada dosen yang jadi pemulung, Pak.”
” O begitu?”
“Ya! Makanya Bapak harus kembali. Kami memerlukan Bapak!”
Bukan Karno mengangkat tangannya.
“Tidak mungkin!”
“Kenapa Pak? Bapak tidak cinta kepada kami?”
“O kalau itu, lebih dari cinta.”
“Kalau cinta kembali dong!”
“Tidak bisa. Karena cinta Bapak tidak akan kembali, supaya kamu bisa tumbuh sendiri. Dulu Bapak juga begitu! Sudah ya, Bapak harus pergi, ada undangan untuk bicara di depan PBB!”
“Pak!!!!”
Tapi Bung Karno sudah pergi. Waktu Ami mencoba berdiri mengejar, tangannya dipegang oleh Pak Amat.
“Ami!”
Ami terkejut dan membuka matanya.
“Sudah siang kok ngelindur. Ayo bangun!”
Ami mengusap matanya.
“Saya mimpi ketemu Bung Karno.”
“Ya siapa yang tidak. Juni kan bulan ulang tahunnya. Pengikutnya bahkan juga musuh-musuhnya pasti akan selalu ingat. Orang besar itu tidak pernah pergi.”
“Tapi beliau bilang, tidak bisa kembali.”
“Ya tidak perlu karena dia masih di sini!”
“O masih di sini?”
“Ya masih.”
“Di mana?”
“Panca Sila itu apa?!”
Ami mengangkat tangannya.
“Bukan itu. Kita memerlukan sosok seperti Bung Karno sekarang, supaya kita kembali bangga jadi orang Indonesia. Baru kalau kita bangga, kita akan bisa bangkit. Kalau tidak ada kebanggaan, tidak akan ada tenaga untuk bangkit. Makanya 100 tahun Kebangkitan Nasional kita masih menggeletak saja koma.”
Amat tertawa.
“Kamu masih ngelindur!”
Ami menggosok matanya.
“Ami bicara soal realita yang kita hadapi sekarang. Sampai mimpi Ami terus memikirkan negara dan bangsa. Bapak jangan meremehkan Ami gara-gara Ami masih muda.”
Amat tertawa.
“Kalau kamu benar-benar memikirkan realita, jangan hanya mimpi, itu lihat sudah jam berapa sekarang. Ayo bantu ibumu di dapur lagi masak!”
Amat membuka jendela kamar Ami. Sinar matahari menerobos masuk. Ami menutup matanya karena silau. Hari Minggu yang mestinya menjadi hari panjang untuk istirahat sudah rusak. Sudah bukan zamannya perempuan dilempar ke dapur.
“Ayo bangun!”
Ami berdiri kesal. Dia membanting bantal lalu menarik seprei. Tetapi ketika dia berbalik. Bung Karno berdiri di pintu dan tersenyum.
“Bapak terkejut mendengar curhatmu semalam. Tapi waktu kembali ke mari, lebih terkejut lagi melihat warga sedang kerja bhakti untuk membersihkan lingkungan, seperti di masa lalu. Ternyata tidak ada yang berubah, Ami. Gedung, kendaraan dan keadaan memang sudah lain, tetapi hati mereka masih sama. Hanya saja kamu harus berusaha melihatnya, seperti Ibumu yang sekarang sedang masak untuk dapur umum mereka itu. Coba lihat!”


2.Harkitnas

Anna berdiri di depan cermin menilai wajahnya. Ternyata ia memang sudah cukup tua. Lalu ia mulai memoles. Memberi dasar tebal menutupi kerut-kerutnya. Sesudah itu dengan hati-hati membentuk alis, garis mata, hidung, bibir dan kemudian pipi.
Dua jam kemudian ia siap..Di cermin nampak muka baru. Rapih dan terkendali. Ketika Anna senyum, kemudian tertawa, melirik, terbelalak, terkejut, kaget, heran dan sebagainya, semuanya beres. Lalu ia menguji mulutnya berbicara..
Tiba-tiba anaknya muncul.
“Mama ngomong dengan siapa?”
Anna menunjuk ke wajah di atas cermin itu.
“Dengan dia.”
“Siapa dia?”
“Teman baik Mama.”
“Kenapa bibirnya merah sekali?”
“Karena baju yang dipakainya juga merah.”
“Kenapa alisnya kecil sekali?”
“Karena dia cantik.”
“Kenapa dia cantik?”
“Karena dia harus menghadiri upacara peringatan Harkitnas.”
Anak itu berpikir.
“Mama ikut?”
“Ya dong. Mama kan harus memberikan sambutan.”
“Kenapa?”
“Sebab Harkitnas itu sangat istimewa.”
“Kenapa istimewa?”
“Karena Harkitnas itu sejarah.”
“Sejarah itu apa?”
“Sejarah itu adalah sesuatu yang betul-betul terjadi.”
“Bagaimana kalau tidak betul.”
“Harus betul. Kalau tidak betul bukan sejarah.”
Anak itu lalu menunjuk lagi ke cermin.
“Dia juga betul?”
“Ya tentu saja.”
“Mana?
Anna memalingkan wajah anaknya dari cermin agar menatap kepadanya.
“Ini dia.”
Anak itu lalu menatap ibunya dengan kagum sambil berbisik.
“Kamu cantik sekali.”
“Memang.”
“Kamu teman Mamaku?”
“Ya.”
“Tapi Mamaku tidak cantik.”
“Jangan hanya lihat muka, hati Mama cantik kan?!.”
“Bibirnya tidak merah.”
“Nanti kalau Mama pakai baju merah, pasti bibir Mama juga akan merah.”
“Tidak.”
“Kok tidak?”
“Aku tidak suka bibir merah.”
“Kenapa?”
“Sebab ……. .”
Anak itu kehabisan kata, lalu berpaling untuk mengingat-ingat. Ketika ia tidak ketemu apa yang mau diingatnya, ia kembali memandangi ibunya.
“Kenapa aku tidak suka bibir merah?”
Anna mengelus kepala anaknya.
“Sebab kalau Mama pakai bibir merah mencium kamu, kamu pasti menangis sebab pipimu jadi kotor, kan?”
“Betul. Aku tidak suka pipiku kotor.”
“Makanya, kalau sudah selesai dandan, Mama tidak akan mencium kamu lagi. Memeluk juga tidak, karena nanti dadanannya bisa rontok. Ya?”
“Ya.”
“Baik, kalau begitu Mama berangkat sekarang. Jangan nakal di rumah ya?”
“Ya.”
“Kasih da-da sama teman Mama.”
Anak itu menggeleng.
“Lho kenapa?”
“Nggak usah.”
“Kenapa nggak usah?”
“Habisnya dia selalu bawa Mama pergi.”
Anna tertawa.
“O tidak. Bukan dia yang membawa Mama pergi. Dia justru yang Mama ajak pergi. Kalau tidak ada dia, nanti Mama kesepian di situ. Mama tidak sanggup di sana sendirian. Di situ orangnya suka ngomong dan suka yang cantik-cantik. Kalau Mama sendiri yang datang, mereka akan bosan. Makanya Mama selalu bawa dia, supaya pekerjaan Mama beres. Kalau pekerjaan beres, nanti Mama bisa beliin kamu …. apa?”
Anak itu menggeleng.
“Aku tidak mau dibeliin lagi.”
“Lho katanya kemaren ingin Barby lagi?”
“Nggak.”
“Donat?”
“Nggak.”
Anna terdiam.
“Habis apa dong?”
“Aku nggak mau apa-apa.”
“Masak? Sama sekali tidak mau apa-apa?”
“Nggak. Aku mau Mama di rumah.”
Anna ketawa.
“Tapi hari ini Harkitnas sayang, Mama harus ke sana memberikan sambutan.”
“Suruh dia saja. Kan orangnya cantik.”
“Tidak bisa. Dia memang cantik tapi tidak bisa apa-apa. Hanya Mama yang bisa menjelaskan apa itu Harkitnas kepada para undangan.”
“Katanya itu sejarah.”
“Memang.”
“Kenapa dia tidak tahu?”
Anna menarik nafas dalam.
“Karena dia cantik, karena dia muda dan karena dia tidak mau tahu.”



Jika Anda ingin mendownload gratis ini linknya :
 CERPEN PENDIDIKAN KARYA PUTU WIJAYA
  1. Cerpen pendidikan : BOM
  2. Cerpen pendidikan : Bung Karno
  3. Cerpen pendidikan : Damai
  4. Cerpen pendidikan : Dekrit
  5. Cerpen pendidikan : Dokter 
  6. Cerpen pendidikan : GURU
  7. Cerpen pendidikan : HARDIKNAS
  8. Cerpen pendidikan : Harkitnas 
  9. Cerpen pendidikan : Indah
  10. Cerpen pendidikan : Kartini 
  11. Cerpen pendidikan : Kebebasan
  12. Cerpen pendidikan : Kebun 
  13. Cerpen pendidikan : Kemerdekaan
  14. Cerpen pendidikan : Komunitas Budaya 
  15. Cerpen pendidikan : Merdeka
  16. Cerpen pendidikan : Nasionalisme
  17. Cerpen pendidikan : Nguping
  18. Cerpen pendidikan : Pahlawan 
  19. Cerpen pendidikan : Panca Sila
  20. Cerpen pendidikan : Pendet 
  21. Cerpen pendidikan : Pilkada
  22. Cerpen pendidikan : Rendra
  23. Cerpen pendidikan : Sejarah 
  24. Cerpen pendidikan : Sepi
  25. Cerpen pendidikan : SUAP
  26. Cerpen pendidikan : Surat Pada Gurbernur
  27. Cerpen pendidikan : Surga 
  28. Cerpen pendidikan - Bisikan Seorang Pelacur 
  29. Cerpen Pendidikan - Si Cacat
CERPEN PENDIDIKAN UPDATE MARET 2012
  1. Cerpen Pendidikan - Tak Ber-Ayah  
  2. Cerpen Pendidikan - Universitas Ora Nggenah 
  3. Cerpen Pendidikan - Perjuangan Sang Pahlawan 
  4. Cerpen Pendidikan - Kancil dan Buaya   
CERPEN PENDIDIKAN UPDATE APRIL 2012

  1. Nasi Bungkus Presiden
  2. NISAN 
CERPEN PENDIDIKAN UPDATE MEI 2012 
  1. Pertanyaan Misterius Ayah 
  2. Surat yang Membuatku Jatuh Cinta 
  3. Aku, Sate Kelinci dan Kebun Teh yang menentramkan Hati  
  4. Ayo sekolah 
sumber

Disqus Comments